JAKARTA, iNews.id - Sunan Bonang melakukan perjalanan pulang ke Tuban, tanah kelahirannya, setelah mengundurkan diri dari kedudukannya di Masjid Demak.
Namun, perjalanannya terhenti di Desa Bonang, Lasem karena terpukau dengan kondisi masyarakat yang menderita kemiskinan dan kekurangan sumber air.
Sunan Bonang bukan hanya pandai dalam bidang agama, tetapi juga memiliki pengetahuan yang luas dalam mengenali tanda-tanda tanah yang mengandung sumber air.
Dalam beberapa hari, ia berhasil menggali beberapa sumur di Bonang dan air mulai mengalir dari sumur-sumur tersebut. Masyarakat desa tidak lagi kekurangan sumber air, dan sumur-sumur buatan Sunan Bonang masih dapat ditemui hingga sekarang.
Setelah itu, Sunan Bonang memutuskan untuk tinggal di Bonang dan mendirikan pesujudan di Watu Layar. Kabar mengenai pendirian pesujudan oleh Sunan Bonang menyebar ke seluruh Pulau Jawa, dan murid-muridnya mulai datang. Mereka membangun sebuah pedepokan yang dilengkapi dengan panggung pertunjukan wayang, yang juga berfungsi sebagai pesantren.
Selain berkebun dan bertani, Sunan Bonang dan para santri mengembangkan usaha kerajinan dan pertukangan. Para santri juga menangkap ikan dan udang kecil, yang kemudian diolah menjadi terasi. Hingga kini, terasi Bonang masih dijual oleh penduduk Bonang.
Namun, masyarakat masih penasaran mengenai keberadaan pesantren Bonang yang telah lenyap tanpa bekas.
Di sekitar pesujudan Sunan Bonang, ditemukan reruntuhan batu gunung dan batu bata merah yang biasa digunakan untuk membuat candi.
Reruntuhan tersebut ditemukan dekat makam Jejeruk, Desa Bonang, yang masih berupa batu bata tebal dan besar seperti di candi Majapahit di Trowulan.
Kisah penemuan ini bermula dari seorang santri bernama Gus Syaiful yang ingin mendirikan pesantren di atas pesujudan Sunan Bonang.
Dia menemukan reruntuhan tersebut di pinggir hutan Bonang, sekitar 100 meter dari pesantren yang dibuatnya. Lokasi reruntuhan terlihat seperti bukit tertutup dedaunan.
Gus Syaiful menduga bangunan itu adalah pesantren peninggalan Sunan Bonang. Di bawah bangunan itu, dia juga melihat adanya pondasi yang masih tertimbun di bawah tanah.
Terdapat juga pecahan-pecahan gerabah dan sumur tua di sekitar lokasi tersebut. Reruntuhan ini menjadi bukti sejarah keberadaan pesantren Bonang yang kini masih menjadi misteri bagi masyarakat.
Sunan Bonang, yang merupakan salah satu penyebar Islam di tanah Jawa, dikenal sebagai seorang ulama sufi yang memiliki keahlian dalam berbagai bidang ilmu agama dan sastra.
Dia juga terampil dalam falak, musik, dan seni pertunjukan. Sebagai seorang sastrawan, Sunan Bonang menguasai bahasa dan kesusastraan Arab, Persia, Melayu, dan Jawa Kuno. Nama aslinya adalah Makhdum Ibrahim.
Dalam suluk-suluknya dan berdasarkan sumber-sumber sejarah lokal, Sunan Bonang memiliki berbagai gelar seperti Ibrahim Asmara, Ratu Wahdat, Sultan Khalifah, dan lain-lain.
Nama Sunan Bonang diambil dari nama tempat dia mendirikan pesujudan dan pesantren di Desa Bonang, yang tidak jauh dari Lasem, di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Hingga kini, tempat tersebut masih ada dan banyak dikunjungi oleh orang-orang yang ingin beribadah seperti berzikir, mengaji Al-Quran, dan tiraqat.
Sunan Bonang, sebagai salah satu anggota Wali Songo, memiliki makam yang masih menjadi misteri. Ada beberapa versi mengenai makamnya, dengan dua tempat yang juga dipercaya sebagai makam Sunan Bonang.
Selama menyebarkan agama Islam, Sunan Bonang sering melakukan perjalanan jauh. Salah satu tempat di mana ia memiliki banyak murid adalah Pulau Bawean, yang merupakan bagian dari Kabupaten Gresik.
Ketika sedang berdakwah di Bawean, Sunan Bonang tiba-tiba jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada tahun 1525.
Para muridnya di Bawean menginginkan agar Sunan Bonang dimakamkan di Pulau Bawean. Namun, beberapa muridnya yang berasal dari Tuban tidak setuju dengan hal itu.
Mereka kemudian datang ke Pulau Bawean dan saat para murid Tuban tiba, jenazah Sunan Bonang telah diletakkan di tengah ruangan dengan banyak santri yang mengawasinya.
Ketika para murid dari Tuban berhasil membuat para santri Bawean tertidur, jenazah Sunan Bonang dibawa ke Tuban dan dimakamkan di dekat Masjid Agung.
Namun, keanehan terjadi karena pada pagi harinya jenazah Sunan Bonang masih berada di Pulau Bawean dengan hanya satu kain kafan yang tersisa.
Sebagai akibatnya, Sunan Bonang kemudian dimakamkan di Pulau Bawean dan upacara pemakamannya juga dilakukan di Tuban secara bersamaan.
Hal ini menjadikan makam Sunan Bonang dipercaya berada di dua tempat yang berbeda, yaitu di Masjid Agung Tuban dan di Kampung Tegal Gubug, Bawean.
Namun, makam Sunan Bonang di Tuban yang dipercaya sebagai asli hingga saat ini masih ramai dikunjungi oleh umat Muslim, baik dari Jawa maupun luar Pulau Jawa.
Makam Sunan Bonang di Tuban terletak di pusat Kabupaten Tuban, tepatnya di belakang kompleks Masjid Agung Tuban di Kelurahan Kutorejo, Kecamatan Tuban Kota.
Di dalam kompleks pemakaman Sunan Bonang di Tuban, terdapat juga makam umum lainnya. Terdapat pintu masuk yang menghubungkan halaman-halaman dalam kompleks tersebut, dengan pintu pertama yang dihiasi oleh relief bunga di kedua sisi.
Makam Sunan Bonang yang ketiga dipercaya berada di daerah Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Lokasinya terletak di Desa Bonang, sekitar 300 meter dari Pesujudan Sunan Bonang. Lokasi makam ini berada dalam satu kompleks dengan makam yang dipercaya sebagai makam Putri Campa.
Putri Campa adalah anak dari Raja Campa dan ibu dari Raden Rahmat atau Sunan Ampel, serta nenek dari Sunan Bonang. Menurut Babad Tanah Jawi, Putri Campa menikah dengan Raja Majapahit Dwarawati.
Makam Putri Campa terletak di tengah permukiman desa dan dikelilingi oleh tembok tebal berwarna putih. Di situs ini, Sunan Bonang tinggal, meninggal, dan dimakamkan.
Berbeda dengan dua lokasi sebelumnya yang memiliki cungkup makam, makam Sunan Bonang di Lasem tidak memiliki cungkup.
Beberapa upaya pembuatan cungkup selalu gagal karena hal-hal yang tidak masuk akal. Mengenai hal ini, juru kunci makam menyebutnya sebagai bagian dari upaya untuk menyimpan rahasia.
Sunan Bonang juga konon memberikan wasiat agar makamnya tidak dicungkup sehingga tidak ada yang mengkultuskannya.
Keberadaan makam Sunan Bonang di tiga tempat tersebut masih menjadi misteri dan menjadi tempat ziarah yang banyak dikunjungi oleh masyarakat Muslim dari Jawa dan luar Pulau Jawa.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait