DERNA, iNewsKutai.id - Banjir mengerikan yang menerjang Kota derna di wilayah timur laut Libya sejak Minggu (10/9/2023) malam diprediksi merenggut 20.000 jiwa.
Ini merupakan banjir terparah sepanjang sejarah yang melanda Libya. Kota Derna yang menjadi titik bencana bahkan rata dengan tanah. Banjir dahsyat ini dipicu Badai Daniel atau juga dikenal sebagai topan daniel yang mirip topan tropis Mediterania.
Dalam setahun, badai ini biasanya menerjang wilayah Mediterania barat dan di wilayah yang terbentang antara Laut Ionia dan pantai Afrika Utara sebanyak tiga kali.
Badai Daniel muncul akibat dari blok Omega, karena zona bertekanan tinggi terjepit di antara dua zona bertekanan rendah. Karena sifat yang berumur pendek dan tiba-tiba, antisipasi terhadap badai sangat minim.
Dampak Badai Daniel sangat mengerikan karena selama berbulan-bulan pada musim panas ini, wilayah tersebut telah dilanda gelombang panas yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Para ilmuwan mengatakan gelombang panas meningkatkan suhu permukaan laut sehingga mendorong terbentuknya siklon mirip tropis Mediterania, atau medicane.
“Meskipun belum ada kajian resmi mengenai peran perubahan iklim terhadap kekuatan Badai Daniel, dapat dikatakan bahwa suhu permukaan laut Mediterania jauh di atas rata-rata sepanjang musim panas,” kata Dr Karsten Haustein, seorang ilmuwan iklim di Universitas Leipzig dikutip dari Guardian.
Sebelum menerjang Libya, Badai Daniel terlebih dulu menghantam Yunani dan Turki hingga mengakibatkan banjir. Namun, kondisi paling parah terjadi di Libya.
Meski demikian, Badai Daniel tidak sepenuhnya menjadi penyebab banyaknya korban jiwa termasuk bendungan yang jebol. Alasannya, negara tersebut dalam kondisi buruk setelah dibombardir oleh angkatan laut NATO dan pesawat-pesawat tempur yang mendukung pemberontakan melawan Muammar Gaddafi.
Dilansir Anadolu Agency, Rabu (13/9/2023), Wakil Sekretaris Kementerian Kesehatan Pemerintah Persatuan Libya Saadeddin Abdul Wakil mengatakan, jumlah korban masih bersifat sementara karena jumlah warga hilang mencapai 10.000 orang.
Sementara itu, data Palang Merah Internasional juga menyebutkan lebih dari 6.000 orang meninggal.
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Kamis, 14 September 2023
Editor : Abriandi
Artikel Terkait