SAMPANG, iNewsKutai.id – Menjelang Hari Raya Idul Adha, suasana di Pulau Madura mulai dipenuhi geliat ribuan pemudik yang kembali ke kampung halaman.
Tradisi Toron, atau mudik khas masyarakat Madura, menjadi simbol kuat hubungan batin antara perantau dan tanah kelahiran mereka.
Secara harfiah, Toron berarti 'turun' atau 'kembali'. Bagi masyarakat Madura, khususnya yang merantau di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, hingga luar pulau, Toron merupakan bentuk penghormatan kepada orang tua dan leluhur.
Selain mempererat tali silaturahmi, Toron juga dianggap sebagai kewajiban moral yang mengakar dalam kehidupan sosial mereka.
“Toron bukan cuma soal pulang kampung. Ini soal merawat hubungan batin dengan tanah kelahiran, keluarga, dan tetangga,” ujar Ahmad Hosen, perantau asal Sampang, Selasa (3/6/2025).
Menariknya, banyak warga Madura lebih memilih pulang kampung saat Idul Adha ketimbang Idul Fitri. Salah satu alasannya adalah karena perayaan Idul Adha sering kali bertepatan dengan kedatangan jemaah haji dari Tanah Suci.
Kehadiran para haji membawa nuansa religius dan sakral ke kampung halaman, yang memperkaya makna spiritual Idul Adha.
Tradisi dan Ritual Idul Adha di Madura
Idul Adha di Madura bukan sekadar momen untuk melaksanakan Salat Id. Lebih dari itu, hari besar ini menjadi wadah untuk menunjukkan nilai-nilai solidaritas sosial dan kebersamaan.
Tradisi penyembelihan hewan kurban dilakukan secara gotong royong, dan dagingnya dibagikan kepada warga, khususnya mereka yang kurang mampu.
Selain itu, ada tradisi unik yang disebut Ter Ater, di mana anak-anak dan remaja membagikan makanan khas Madura—seperti nasi jagung, soto Madura, dan aneka kue tradisional—ke rumah-rumah tetangga.
“Setiap rumah jadi ramai, saling mengirim makanan, dan itu bikin Idul Adha terasa istimewa,” kata Ahmad.
Tradisi Ter Ater ini bukan hanya simbol keramahan, tetapi juga bentuk nyata dari gotong royong dan penghargaan terhadap tetangga sebagai bagian dari keluarga besar.
Toron sebagai Bentuk Pelestarian Budaya
Di era modern yang serba cepat dan urban, Toron tetap menjadi bukti keteguhan masyarakat Madura dalam mempertahankan identitas budaya mereka.
Pulang kampung tidak hanya soal fisik, tetapi juga soal spiritual dan emosional. Ini adalah bentuk resistensi budaya terhadap arus globalisasi yang kerap mengikis nilai-nilai tradisional.
Perjalanan pulang yang panjang dan melelahkan, biaya transportasi yang meningkat, serta keterbatasan waktu bukanlah halangan bagi para perantau. Justru, setiap langkah mereka menuju kampung halaman dipenuhi harapan dan cinta terhadap tradisi yang telah diwariskan turun-temurun.
Nilai Ekonomi dan Sosial dari Tradisi Toron
Selain dimensi budaya, Toron juga memberikan dampak positif pada sektor ekonomi lokal. Peningkatan jumlah pemudik menjelang Idul Adha memicu pertumbuhan ekonomi musiman di berbagai sektor, seperti transportasi, kuliner, dan perdagangan oleh-oleh khas Madura. Terminal, pelabuhan, dan pasar-pasar tradisional pun menjadi lebih hidup.
Sementara itu, aspek sosial dari Toron menciptakan ruang dialog antar generasi. Anak-anak yang lahir di kota besar dapat mengenal akar budaya orang tua mereka, sementara orang tua di kampung merasa dihargai dan disambangi.
Menjaga Tradisi, Menjaga Jati Diri
Idul Adha di Madura bukan sekadar perayaan keagamaan. Ini adalah manifestasi cinta terhadap keluarga, kampung halaman, dan budaya lokal. Tradisi Toron menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, mengajarkan bahwa identitas tidak boleh dilupakan meski jarak memisahkan.
Toron bukan sekadar rutinitas tahunan. Ia adalah cermin dari nilai luhur: kesetiaan pada akar budaya, penghormatan kepada orang tua, dan semangat gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Madura.
Editor : Abriandi