Bantu Ukraina dengan Senjata Canggih, NATO Rupanya Enggan Perang Terbuka dengan Rusia

Muhaimin, Sindonews
HIMARS, salah satu sistem misil jarak jauh AS yang dikirim anggota NATO untuk melawan Rusia. (Foto/US Army)

Pada Juli, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan dalam wawancara kepada RT bahwa Ukraina sedang "dipompa" dengan perangkat keras militer Barat. Lavrov menegaskan, 

"Ukraina dipaksa menggunakan senjata ini dengan cara yang semakin berisiko sehingga mencegah Kiev membuat tindakan konstruktif apa pun." 

Dalam pidatonya pada Kamis, Stoltenberg mengklaim Putin pada akhirnya gagal mencapai tujuannya, karena bukannya NATO mengurangi kehadirannya di Eropa Timur dan memperlambat ekspansinya, aliansi tersebut telah menjadi 

"lebih kuat dan lebih terkonsolidasi" dengan aksesi yang akan datang, Swedia dan Finlandia. 

“Memperkuat pertahanan di sisi timur NATO sangat penting, di tengah upaya mencegah kemenangan Rusia di Ukraina,” papar dia. 

Namun demikian, dia menegaskan kembali bahwa NATO bukan “pihak dalam konflik” dan tidak akan mengirim pasukan ke Ukraina. 

Dalam wawancara sebelumnya dengan penyiar publik Norwegia NRK, kepala NATO itu menunjukkan aliansi itu tidak berkewajiban campur tangan dalam konflik karena Ukraina bukan negara anggota. 

“Kami memiliki tanggung jawab untuk mendukung Ukraina, tetapi kami juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga keamanan semua negara yang menjadi tanggung jawab NATO,” papar dia. 

Sebelum meluncurkan operasinya, Rusia berulang kali mengatakan pihaknya memandang ekspansi NATO ke arah timur sebagai ancaman terhadap keamanan nasionalnya. 

Pada Desember 2021, Moskow mengajukan banding ke Amerika Serikat (AS) dan aliansi untuk jaminan hukum bahwa NATO akan menghentikan ekspansinya dan menahan diri dari mengerahkan sistem senjata yang mampu menyerang jauh ke dalam wilayah Rusia. 

Namun, NATO menjawab anggotanya dan kandidat aksesi yang memutuskan apakah akan bergabung dengan aliansi atau tidak. Stoltenberg berbicara di kamp tahunan yang diadakan di pulau Utoya oleh sayap pemuda Partai Buruh Norwegia, yang dipimpinnya hingga 2014. 

Pulau itu menjadi berita utama pada 2011, ketika ekstremis sayap kanan Norwegia Anders Breivik menembaki kamp setelah meledakkan bom truk di gedung pemerintah Oslo untuk mengalihkan perhatian polisi. Pembantaian itu menewaskan 77 orang.

Editor : Abriandi

Sebelumnya

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network