Selain lokasinya yang strategis di dekat Sungai Kapusa, sungai terbesar di Kalimantan, Pontianak juga dikenal sebagai kota khatulistiwa yang dilalui garis lintang nol derajat bumi. Di kota ini dibangun sebuah monumen atau Tugu khatulistiwa di daerah Siantan. Kota Pontianak yang luas wilayahnya 107,82 kilometer persegi ini juga menyimpan sebuah legenda yang berawal dari mitos mistis masa lalu.
Mitos mistis tersebut berkaitan dengan Kuntilanak hantu perempuan yang meninggal saat melahirkan.
Hantu Perempuan Kuntilanak
Sementara itu, berdasarkan beberapa sumber, nama Pontianak bermula dari kisah Sultan Syarif yang sering diganggu oleh hantu berwujud Kuntilanak saat sedang menyusuri Sungai Kapuas. Tempat di sepanjang pesisir Sungai Kapaus itu bernama Khun Tien yang banyak dihuni oleh etnis Tionghua.
Saat tiba di kota Khun Tien, Syarif merasa sangat terganggu dengan Kuntilanak, sehingga dia melepaskan tembakan meriam untuk mengusirnya.
Pendiri Kerajaan Pontianak adalah Sultan Syarif Abdurrahman. Foto/Ist
Sosok Kuntilanak ini digambarkan berwujud perempuan dengan rambut panjang dan berbaju putih panjang. Selain cerita tersebut, sebagian masyarakat juga percaya bahwa asal usul Pontianak berasal dari 6 legenda terkenal.
Versi legenda pertama yakni, nama Hantu. Banyak cerita menganggap bahwa nama Pontianak berasal dari hantu perempuan bernama Kuntilanak.
Diceritakan bahwa saat itu Syarif Abdurrahman bersama rombongan menyisir hutan yang akan dijadikan tempat pemukiman baru di delta pertemuan Sungai Kapuas Kecil, Sungai Kapuas Besar dan Sungai Landak.
Tiba-tiba rombongan diganggu oleh suara jeritan dan tangisan mengerikan yang datangnya dari arah tengah hutan. Jeritan dan tangisan itu diduga berasal dari makhluk astral, Kuntilanak. Alhasil, banyak anggota rombongan yang merasa ketakutan ingin segera menyelesaikan pekerjaan lalu pulang.
Suara-suara makhluk astral itu dianggap Syarif Abdurrahman sangat mengganggu dan menghambat pekerjaan membuka lahan hutan untuk dijadikan pemukiman. Lantas, Sultan Syarif Abdurrahman segera membawa meriam ke hutan dan menembakkannya kearah sumber suara.
Setelah itu, suara-suara mengerikan tersebut berangsur-angsur menghilang sehingga rombongan mulai tenang. Pekerjaan membangun pemukiman baru di hutan tersebut kembali dilakukan.
Editor : Hikmatul Uyun