Di Samarinda, Sebuah Panggung Kecil Mencoba Menghidupkan Kembali Cara Lama Membaca Alam
Samarinda , iNewsKutai.id - Di bawah cahaya kuning lampu jalan Citra Niaga, Samarinda, sekelompok penari Dayak Benuaq bergerak perlahan membentuk lingkaran.
Suara kayu dipukul membentuk ritme rendah, seperti bunyi yang biasanya muncul dari dalam hutan ketika malam turun. Orang-orang yang lewat berhenti, sebagian duduk di trotoar, sebagian lainnya berdiri sambil mengangkat ponsel.
Tidak ada panggung tinggi malam itu hanya ruang terbuka, lantai kota, dan sebuah upaya untuk membangkitkan kembali gagasan lama tentang hubungan manusia dan alam.
Pertunjukan tersebut menutup Program Inovasi Seni Nusantara 2025, sebuah rangkaian kegiatan yang melibatkan Universitas Mulawarman (Unmul), PPKM Kemendikstistek, serta dua komunitas seni dari masyarakat Dayak. Namun atmosfernya jauh dari acara formal.
Di tengah hiruk pikuk pusat kota, para penari membawa motif gerak yang lahir dari ladang, dari tanah, dari memori panjang tentang cara hidup yang semakin terdesak oleh modernisasi.
Di pinggir kerumunan, Yofi Irvan Vivian, pengajar seni musik di Unmul, memperhatikan dengan cermat.
Ia mengatakan bahwa sebagian besar pertunjukan bertema alam yang berkembang di kota-kota hari ini tidak sungguh-sungguh berbicara tentang alam itu sendiri.
“Alam sering hanya jadi efek. Ada suara burung sebentar, ada gerakan seperti angin tapi konteksnya hilang,” ujarnya.
Filsafat Dayak Benuaq, kata Yofi, memandang manusia dan alam sebagai dua entitas yang tidak sedang saling menguasai.
“Hutan, air, dan tanah adalah bagian dari moral community,” katanya. Dalam konteks itu, seni bukan sekadar representasi, tetapi cara merawat hubungan.
Gagasan yang terdengar abstrak itu diterjemahkan ke dalam proses yang lebih konkret selama beberapa bulan terakhir: lokakarya di desa, obrolan panjang di balai adat, sesi latihan yang berpindah-pindah dari rumah ke rumah.
Unmul bekerja bersama dua kelompok, Desa Budaya Sungai Bawang dan Sanggar Runtiq Bulau, untuk merumuskan pertunjukan yang tidak lahir dari panggung kota, tetapi dari pengalaman sehari-hari masyarakat adat.
“Yang kami bawa ke publik bukan hanya tari,” kata Eka Yusriansyah, koordinator seni tari.
“Kami mencoba memperlihatkan bahwa kreativitas masyarakat adat tidak berhenti di museum atau festival. Ia hidup, berubah, dan punya bahasa sendiri.”
Bahasa itu tampak jelas ketika 12 perempuan Dayak Benuaq memasuki arena pementasan dengan balutan tenun Doyo buatan tangan.
Mereka membawakan Ngelewai, sebuah tarian yang menonjolkan kelembutan dan keteguhan; lalu Bengkarku Habis, karya yang memotret kegelisahan atas hutan yang semakin hilang. Penonton terpaku ketika suara kayu yang dipukul semakin cepat, seolah mencerminkan situasi yang benar-benar terjadi di lapangan.
Bagi Siri Nurjanah, pemimpin Sanggar Runtiq Bulau yang berusia 58 tahun, kesempatan tampil di ruang publik seperti ini masih jarang terjadi. “Sering orang lihat seni Dayak sebagai sesuatu yang eksotis,” ujarnya.
“Padahal bagi kami, ini cara membaca dunia.” Ia mengatakan sanggarnya ingin berkembang, tetapi dukungan kerap datang tidak teratur dan singkat.
Samarinda malam itu menjadi ruang pertemuan yang tidak direncanakan: antara warga urban, seniman desa, dan gagasan tentang alam yang jarang menjadi pusat pembicaraan kota.
Banyak penonton bertahan sampai pentas selesai, sebagian dari mereka mengobrol sambil menanyakan asal gerakan atau makna kostum.
Tidak ada jaminan apakah kolaborasi seperti ini akan berkelanjutan atau berhenti pada tahun berikutnya.
Namun bagi para pelaku seni yang terlibat, keberlanjutan bukan hanya soal proyek, tetapi tentang memastikan bahwa cara pandang terhadap alam yang diwariskan masyarakat adat tidak hilang begitu saja.
Di tengah ruang komersial Citra Niaga yang terus berkembang, pertunjukan malam itu menawarkan jeda: sebuah pengingat bahwa di balik modernitas kota, ada kisah-kisah lama yang masih mencari tempat untuk didengar.
Editor : Dzulfikar