Jaga Amanah Jabatan, Jenderal Legendaris Polri Larang Putranya Daftar Akpol

Nur Ichsan
Jenderal Hoegeng melarang putranya mendaftar Akpol. (foto; ist)

JAKARTA, iNewsKutai.id - Taruna Akademi Kepolisian (Akpol) dari kalangan keluarga polisi sudah menjadi hal yang lumrah saat ini. Keinginan agar sang anak mengikuti jejak orangtua menjadi faktor utama.

Namun, hal itu tidak berlaku bagi jenderal legendaris Polri ini. Dia memilih menjegal keinginan anaknya masuk Korps Bhayangkara demi menjaga amanah jabatan dan objektifitas seleksi.

Sosok itu adalah Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Iman Santoso. Menjabat sebagai Kapolri pada tahun 1968-1971, dia dikenal sebagai polisi yang sangat jujur dan cerita hidupnya menjadi legenda di masyarakat.

Demi menjaga amanah jabatannya, Jenderal Hoegeng sampai tega menjegal putranya, Aditya Soetanto Hoegeng masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri). Dia ingin mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang polisi.

Kisah itu diceritakan wartawan senior Farouk Arnaz dalam bukunya yang berjudul "Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanan". Dia menceritakan jika Adit yang saat itu duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA) bercita-cita menjadi polisi.

Untuk bisa mendaftar, salah satu syaratnya harus melampirkan surat izin dari orang tua. Dengan penuh semangat dan percaya diri, Adit datang ke Mabes Polri untuk meminta surat izin orang tuanya, Jenderal Hoegeng.

Namun saat menemui sang ayah di Mabes Polri, Adit malah disuruh menunggu seperti tamu lainnya. Saat diizinkan masuk, dia pun tak melihat sosok ayah pada seorang Hoegeng melainkan Kapolri. Dia bahkan tidak dipersilakan duduk.

Adit mengenang, Hoegeng hanya melihat ke arahnya dan bertanya  apa keperluannya menemuinya di kantor. Dia pun menyampaikan keinginannya meminta surat izin orang tua untuk mendaftar Akpol. Namun, Hoegeng hanya menjawab nanti saja kepada anaknya. 

Bahkan, selepas itu Hoegeng sama sekali tidak menyapa. Dia malah meneruskan pekerjaannya yang menumpuk di meja kerja. Mengetahui sikap ayahnya seperti itu, Aditya langsung pulang. 

Uniknya, ketika Hoegeng kembali ke rumah, dia sudah bersikap layaknya seperti seorang bapak kepada anak dan suami kepada istri. 

"Saya masih ingat saat itu bapak bertanya, hai Dit kamu sudah makan? Beliau sama sekali tidak membicarakan soal tadi yang di kantor," kata Adit. 

Setelah kurang lebih tiga hari menunggu, tiba-tiba ajudan Hoegeng memberitahu Aditya kalau dirinya telah ditunggu oleh bapaknya di Mabes Polri. Mengetahui sikap orang tuanya dari pertemuan sebelumnya, Aditya menyiapkan mental dengan matang.

Saat tiba di Mabes Polri, Hoegeng bertanya kemantapan hati putranya tersebut masuk ke dunia militer. Anehnya, kala itu Hoegeng berpesan agar anaknya tidak masuk polisi. Sebab dia tidak ingin ada Hoegeng lainnya di instansi kepolisian. 

"Mendengar ucapan itu, saya mau ketawa tapi takut," kata Adit.

Selepas berbincang, Adit menanyakan perihal surat izin yang diminta beberapa hari lalu. Akan tetapi, Hoegeng tidak memberikannya malah meminta anaknya pergi. Adit mungkin berpikir, jika ayahnya tinggal mengirimkan radiogram dari Mabes Polri untuk syarat pendaftaran Akabri. 

Setelah keluar dari Mabes Polri, dia baru menyadari pendaftaran sudah tutup dua hari lalu. "Jadi beliau monitor sampai hari pendaftaran tutup, baru dia panggil saya," kenang Adit. 

Adit pun kecewa dan marah. Bagaimana tidak? Cita-citanya ingin masuk Akabri tidak kesampaian hanya karena ayahnya tidak memberikan surat izin orang tua. 

Saking emosinya, Aditya meluapkan kemarahannya kepada kuas-kuas milik Hoegeng yang digunakan untuk melukis. Tanpa pikir panjang semua kuas tersebut digunduli. Ketika Hoegeng pulang bekerja, dia meminta pembantu untuk memanggil anaknya laki-lakinya itu. 

Namun, karena sudah terlanjur kesal dan marah Aditya menolak bertemu dengan bapaknya. Pada akhirnya, Jenderal Hoegeng sendiri yang datang ke kamarnya dan mengajak anaknya tersebut berbicara dari hati ke hati. Dengan perasaan yang masih kesal, akhirnya Adit mau keluar kamar dan berbicara di meja makan bersama ayahnya. 

Selama pembicaraan, dia sama sekali tidak mau melihat wajah ayahnya karena masih kesal atas kejadian sebelumnya. "Kala itu bapak bilang, Dit sekarang kita bicara antara Hoegeng dengan dirimu, antara anak dan ayah," kata Adit mengulangi pembicaraan saat itu.

Sebelum masuk pada topik utama, Hoegeng terlebih dahulu mengatakan kepada anaknya tersebut jangan berkomentar atau menyanggah sebelum dia selesai bicara. 
"Dalam hati ku yang paling dalam, jangan ada lagi yang mengikuti jejak saya di angkatan. Cukup saya saja yang merasakan itu semua," kata Hoegeng seperti yang diceritakan ulang oleh anaknya. 

Hoegeng juga menjelaskan kenapa tidak mengizinkan anaknya bergabung di Akabri. Hoegeng sama sekali tidak ingin jabatan yang disandangnya sebagai Kapolri akan memudahkan atau setidaknya memengaruhi anaknya masuk Akabri. 

Selepas menjelaskan panjang lebar alasan dia tidak memberi izin anaknya bergabung di Akabri, dengan kerendahan hati, Hoegeng berdiri dari kursinya dan menghampiri anaknya sembari meminta maaf. 

Di akhir pembicaraan yang berlangsung di meja makan tersebut, Hoegeng dengan polosnya bertanya kepada anaknya kenapa kuasnya digunduli. Sontak saja hal itu membuat perasaan anaknya yang tadi penuh amarah langsung berubah drastis sambil menahan senyum. 

Adit mengaku belajar banyak dari ayahnya. Padahal, jika ingin masuk Akabri apalagi jadi anggota polisi, tentu saja bisa dikatakan peluangnya jauh lebih besar dari calon lainnya. 

Akan tetapi, sosok Hoegeng melihat satu langkah lebih jauh dari yang dipikirkan anaknya. Selain itu, dia menilai bapaknya sebagai orang yang sangat humanis dalam mendidik anak-anaknya.

Editor : Abriandi

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network