JAKARTA, iNewsKutai.id - Pemerintahan Presiden Joko Widodo disebut berpotensi mewariskan utang hingga Rp10.000 bagi pemimpin selanjutnya. Saat ini, nilai utang Indonesia sudah menembus Rp7.014 triliun pada Februari 2022.
Anggota Badan Anggaran DPR RI Marwan Cik Asan mengungkapkan pemerintahan periode mendatang akan menanggung beban utang mencapai Rp 10.000 triliun dengan tingkat bunga Rp500 triliun per tahun. Menurutnya, dalam dua tahun pandemi, utang pemerintah bertambah Rp102,2 triliun.
"Sampai akhir periode pemerintahan Presiden Jokowi jumlah utang pemerintah akan menembus angka Rp 10.000 triliun dengan rasio utang sekitar 50% dari produk domestik bruto (PDB), Peningkatan jumlah utang pada era pemerintahan Jokowi sangat luar biasa," Kata Marwan Cik Asan kepada wartawan, Selasa (5/4/2022).
Angka tersebut, lanjut Marwan, melonjak tiga kali lipat dari jumlah utang periode Oktober 2014 hingga Desember 2019 yang hanya berada pada kisaran Rp 35,2 triliun per bulan. Tidak hanya menimbulkan risiko bagi PDB namun juga membebani generasi bangsa selanjutnya.
Sekretaris Fraksi Partai Demokrat itu menjelaskan, pada periode pertama pemerintahan Jokowi (2014 -2019) tambahan utang pemerintah mencapai Rp 2.155 triliun, sedangkan untuk periode kedua (2019 -2024) diproyeksikan akan menembus angka Rp 5.500 triliun.
Menurutnya, selama 7 tahun pemerintahan Jokowi, tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya mencapai 5% atau tidak pernah mencapai target dalam APBN dengan akumulasi utang Rp 4.400 triliun.
Tentunya, jika di bandingkan pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun, rata-rata pertumbuhan ekonomi 6% dengan akumulasi utang sebesar Rp 1.300 triliun.
"Sangat fantastis utang negara kita saat ini, apakah ini kemajuan atau kemunduran, biarkan masyarakat yang menilainya. Menteri Keuangan menyatakan bahwa kondisi utang pemerintah masih dalam batas wajar dan aman, namun akumulasi utang yang terus bertambah memberikan beberapa risiko yang harus diwaspadai pemerintah seperti menurunnya rasio pajak hingga sebesar 9% ditahun 2021," ujarnya.
"Kondisi ini menggambarkan bahwa kemampuan pemerintah untuk membayar cicilan dan bunga utang yang bersumber dari penerimaan pajak sudah tidak memungkinkan, Sehingga ketergantungan terhadap utang akan semakin besar untuk menutupi utang yang jatuh tempo," terang Marwan.
Anggota Komisi XI DPR ini mengatakan, pembayaran bunga utang akan semakin membebani APBN. Untuk APBN 2022, pemerintah mengalokasikan dana Rp 405,87 triliun untuk pembayaran bunga utang, nilai tersebut porsinya mencapai 20,87% dari total belanja pemerintah pusat. Kondisi ini tentu akan mengurangi ruang fiskal pemerintah untuk melakukan belanja produktif.
Dari sisi imbal hasil, kata dia, biaya utang Indonesia tergolong mahal. Data ADB, sepanjang tahun 2020, untuk utang jangka waktu 10 tahun, imbal hasil Jepang hanya 0,03%, Cina 2,99%, Thailand 1,29%, dan Malaysia 2,5%.
Sementara Indonesia 6,72% atau jadi yang tertinggi dalam daftar ADB. Imbasnya, pemerintah harus membagi fokus belanja. Dari yang seharusnya bisa memaksimalkan anggaran untuk kesejahteraan, peningkatan kualitas SDM, sampai infrastruktur, harus dialokasikan untuk pembayaran bunga utang.
"Utang yang di dominasi SBN mencapai 87,88%, memberikan keleluasan bagi pemerintah dalam penggunaannya, berimbas pada perencanaan penggunaan utang yang kurang matang dan penurunan transparansi. Sangat berbeda jika utang dalam bentuk pinjaman luar negeri jauh lebih rigid dibandingkan dengan SBN. Artinya, proyek yang akan dibiayai oleh utang tersebut akan terjamin keberhasilannya, karena melalui proses audit yang lebih detail," ungkap Marwan.
Editor : Abriandi
Artikel Terkait