TENGGARONG, iNewsKutai.id - Ambisi Edi Damansyah kembali mencalonkan diri di Pilkada Kutai Kartanegara, kandas. Mahkamah Konstitusi menolak gugatan uji materil terkait masa jabatan kepala daerah yang diajukan bupati Kukar itu.
Hal itu tertuang dalam putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 dan dibacakan dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (28/2/2023) lalu.
"MK perlu menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan masa jabatan kepala daerah yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan masa jabatan yang telah dijalani tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara," kata Ketua MK Arief Hidayat dikutip dari laman MK, Jumat (3/3/2023).
Sebelumnya, Edi Damansyah menguji secara materiil Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Ia mendalilkan kehilangan hak konstitusional yang dberikan oleh UU dalam memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Pemohon mempersoalkan hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak tegas dan tidak konkretnya suatu undang-undang yaitu Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada karena terdapat keadaan kekaburan norma yang dapat menyebabkan terjadinya diskriminasi karena pemahaman dan pemaknaan yang berbeda.
Pemohon meminta agar Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada untuk pembatasan masa jabatan kepala daerah selama 2 periode hanya berlaku pada pejabat kepala daerah definitif, tidak berlaku pada jabatan pelaksana tugas kepala daerah.
Ketua MK Arief Hidayat menyatakan, persoalan masa jabatan satu periode untuk kepala daerah sudah pernah diputuskan MK dalam putusan Nomor 22/PUU-VII/2009 yang dibacakan pada 17 November 2009.
"Putusan itu berbunyi, masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan, yang dikuatkan kembali dalam pertimbangan hukum putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan ”….setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan,” ujar Arief.
Artinya, sambung Arief, jika seseorang telah menjabat kepala daerah atau sebagai sebagai pejabat kepala daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan. Karena itu, permohonan Edi dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Dengan demikian, berdasarkan amar Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang kemudian dikuatkan kembali dalam putusan 67/PUU-XVIII/2020, makna kata ‘menjabat’ dimaksud telah jelas dan tidak perlu dimaknai lain selain makna dimaksud dalam putusan tersebut. Sehingga, kata ‘menjabat’ adalah masa jabatan yang dihitung satu periode yaitu masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari satu masa jabatan kepala daerah,” ujar Arief.
Sebagai tambahan informasi, Edi Damansyah menilai Pasal 7 Ayat (2) huruf n UU Pilkada dapat dimaknai bahwa pemohon telah melalui masa jabatan Bupati selama dua periode berturut-turut dari 2016 – 2021 dan dari 2021 – 2026.
Berdasarkan UU Pilkada dapat dimaknai Pemohon telah terhitung selama satu periode pada tahap pertama (2016 – 2021) karena lebih dari 2,5 tahun menjabat sebagai Plt dan definitif sebagai Bupati (dihitung sekaligus 2 tahun, 10 bulan, 12 hari).
Kemudian pada tahap jabatan Bupati yang kedua (2021 – 2026/2024) juga telah terhitung satu periode, karena telah melalui masa jabatan 4 atau 5 tahun.
Edi Damansyah sebelumnya menjabat sebagai pelaksana tugas bupati Kutai Kartanegara setelah Rita Widyasari ditangkap KPK dalam perkara korupsi dan suap. Dia kemudian dilantik menjadi bupati defenitif pada 14 Februari 2019.
Pada Desember 2020, Edi Damansyah yang berpasangan dengan Rendi Solihin kembali maju di pilkada melawan kotak kosong. Hasilnya, Edi kembali terpilih dengan perolehan suara 74 persen dan dilantik pada 26 Februari 2021.
Editor : Abriandi