Malam 1 Suro: Mitos, Pantangan, dan Tradisi Sakral dalam Budaya Jawa

SOLO, iNewsKutai.id – Malam 1 Suro dalam kalender Jawa merupakan malam yang sarat makna dan kepercayaan. Bagi masyarakat Jawa, malam ini dianggap sebagai malam sakral yang dipenuhi aura mistis dan penuh pantangan.
Kepercayaan ini telah diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian dari kearifan lokal yang memperkaya tradisi budaya Nusantara.
Malam 1 Suro menandai awal bulan Suro, bulan pertama dalam penanggalan Jawa-Islam yang diperkenalkan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1633 Masehi. Malam 1 suro tahun bertepatan pada Kamis (26/6/2025) malam atau malam 1 Muharram 1447 H.
Penanggalan ini merupakan hasil perpaduan antara kalender Hijriah dan kalender Saka, yang dirancang untuk menyatukan elemen keislaman dan budaya lokal di tanah Jawa.
Tidak hanya bernilai spiritual, malam 1 Suro juga mengandung nilai historis dan filosofis. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak ritual adat digelar oleh masyarakat, khususnya di wilayah keraton seperti Surakarta dan Yogyakarta.
Berikut adalah lima mitos malam 1 Suro yang hingga kini masih diyakini oleh sebagian besar masyarakat Jawa:
1. Larangan Keluar Rumah di Malam Hari
Pada malam 1 Suro, masyarakat Jawa percaya bahwa roh-roh gentayangan dan makhluk gaib lebih aktif dari biasanya. Karena itu, orang tua kerap melarang anak-anak keluar rumah pada malam ini agar terhindar dari gangguan makhluk halus. Kepercayaan ini turut membentuk budaya kehati-hatian dan ketenangan di malam 1 Suro.
2. Menghindari Acara Besar atau Hajatan
Melaksanakan acara penting seperti pernikahan, pindah rumah, atau menggelar hajatan besar dianggap sebagai tindakan yang tabu pada bulan Suro, terutama malam pertama. Konon, hal ini bisa mendatangkan musibah atau kegagalan. Akibatnya, masyarakat lebih memilih untuk menunda rencana besar hingga bulan berikutnya.
3. Larangan Memotong Rambut dan Kuku
Mitos larangan memotong rambut atau kuku saat malam 1 Suro ini cukup populer. Kepercayaan tradisional menyebutkan bahwa tindakan tersebut dapat mengundang kesialan, sakit, atau bahkan nasib buruk. Oleh karena itu, masyarakat umumnya menghindari kegiatan ini sebagai bentuk penghormatan terhadap malam suci tersebut.
4. Menjaga Perkataan dan Emosi
Pertengkaran atau konflik pada malam 1 Suro diyakini membawa energi negatif yang berkepanjangan. Oleh karena itu, masyarakat dianjurkan untuk menjaga suasana hati, menghindari adu mulut, serta memperkuat keharmonisan antaranggota keluarga maupun tetangga.
5. Kerbau Bule sebagai Simbol Spiritual
Di Keraton Surakarta, malam 1 Suro dirayakan dengan Kirab Pusaka dan Kirab Kerbau Bule (Kebo Bule). Kerbau albino ini dianggap sebagai hewan keramat dan memiliki kekuatan spiritual.
Menariknya, masyarakat percaya bahwa kotoran kerbau bule yang jatuh selama kirab dapat membawa keberuntungan, sehingga tak jarang diambil untuk disimpan.
Tak hanya mitos, malam 1 Suro juga menjadi momentum penting untuk menjalankan berbagai ritual spiritual dan adat:
- Memandikan Pusaka: Tradisi ini biasa dilakukan untuk membersihkan senjata pusaka seperti keris, tombak, atau pedang. Prosesi ini dipercaya dapat membersihkan energi negatif dan menyambut tahun baru dengan aura positif.
- Tapa Bisu: Sebuah ritual yang dilakukan tanpa berbicara sepanjang malam sambil berjalan kaki mengelilingi kawasan keraton. Tapa bisu dimaknai sebagai bentuk perenungan diri dan pengendalian hawa nafsu.
- Selamatan dan Tirakatan: Banyak keluarga Jawa menggelar doa bersama, membaca doa-doa atau wirid, serta tirakatan sebagai bentuk refleksi spiritual dan permohonan keselamatan.
Bagi masyarakat Jawa, malam 1 Suro bukan sekadar malam penuh pantangan. Malam ini merepresentasikan momen introspeksi, pembersihan jiwa, dan awal baru dalam kehidupan. Bulan Suro juga dianggap sebagai waktu untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan meresapi makna spiritual dalam diam dan ketenangan.
Malam 1 Suro adalah simbol sakral dalam budaya Jawa yang menggabungkan nilai mistik, spiritualitas, dan kearifan lokal. Meski zaman terus berubah, tradisi dan mitos seputar malam 1 Suro tetap lestari dan menjadi identitas budaya yang dihormati.
Bagi generasi muda, mengenali dan menghormati warisan budaya ini adalah bagian dari pelestarian tradisi yang tak ternilai harganya.
Editor : Abriandi