SAMARINDA, iNewsKutai.id - Gubernur Kaltim Isran Noor menyoroti nilai bagi hasil tambang batu bara yang dinilai tidak adil. Alasannya, dana yang diterima daerah penghasil tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang terjadi.
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara pasal 129 mengatur pemerintah daerah mendapat jatah 6 persen dari keuntungan bersih para pemegang IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) sejak mereka berproduksi.
Rinciannya, pemerintah provinsi mendapat 1,5 persen, pemerintah kabupaten/kota penghasil mendapat bagian 2,5 persen dan pemerintah daerah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama mendapat bagian 2 persen.
"Eksploitasi batu bara di Kaltim open pit mining atau tambang terbuka sehingga kerusakan lingkungan yang diakibatkan luar biasa. Mestinya, bagi hasil, bukan seperti royalti," tegas Isran Noor dalam rapat dengar pendapat Panja Illegal Mining DPR RI, dikutip Rabu (13/4/2022).
Menurut dia, bagi hasil 6 persen tidak sebanding dengan risiko kerusakan lingkungan maupun kerusakan infrastuktur jalan akibat eksploitasi tambang batu bara. "Mestinya dana bagi hasil jauh lebih besar, 30-40 persen dari hasil pendapatan penjualan batu bara," ujarnya.
Gubernur juga mengingatkan pentingnya payung hukum yang jelas bagi pemerintah daerah untuk pengawasan tambang dan harus jelas pula manfaat yang akan diterima daerah.
"Itu tambang yang legal. Belum lagi tambang ilegal. Sudah kita tidak dapat apa-apa, daerah rugi, negara rugi tidak ada wibawa, infrastruktur jalan dan lingkungan kita pun hancur. Jadi makin ndak keruan-keruan ruginya," sindir Gubernur.
Mantan ketua Apkasi ini menyarankan agar pemerintah segera memperbaiki sistem bagi hasil tersebut. Dia lantas membandingkan dengan bagi hasil minyak dan gas yang notabene tidak merusak lingkungan secara langsung karena penambangan di kedalaman, baik di darat maupun di laut (onshore dan offshore). Namun bagi hasil ke daerah jauh lebih besar migas.
Editor : Abriandi