JAKARTA, iNewsKutai - Masalah keuangan pada tubuh BPJS Ketenagakerjaan (BPJS-TK) diduga menjadi latarbelakang keputusan pemerintah membatasi pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT). Maksimal dana yang bisa dicairkan hanya 10 persen sebelum berusia 56 tahun.
Mantan Dewan Pengawas BPJS-TK Poempida Hidayatullah menduga ada masalah dalam pengelolaan dana JHT. Menurutnya, masalah itu bisa membuat BPJS Ketenagakerjaan mengalami gagal bayar klaim peserta.
Dia menuturkan, masalah yang terjadi pada pengelolaan BPJS Ketenagakerjaan adalah solvabilitas, yaitu jumlah dana kelolaan BPJS ketenagakerjaan dengan kewajiban bayar (klaim) nilainya lebih kecil.
"Jadi uang yang terkumpul, dengan kewajiban dia harus membayar (klaim) ini nilainya di bawah. Artinya, harus ada yang nombokin ini kalau diklaim," kata dia dalam diskusi virtual, Selasa (15/2/2022).
Karena itu, dia menduga ada kesalahan dalam pengelolaan BPJS Ketenagakerjaan sehingga bisa terjadi hal tersebut. Akibatnya penundaan pembayaran dana JHT seperti yang tertuang dalam Permenaker No 2/2022 tersebut untuk menghindari gagal bayar.
"Saya menduga, basis pelarangan JHT ini pada saat sebelum usia pensiun ini supaya tidak terjadi gagal bayar. Persoalannya banyak di JHT itu, ada dana ratusan triliun tertahan di dalam portofolio (saham) yang buruk, terutama dalam bentuk reksa dana dan saham yang jelek-jelek," ujarnya.
Dia mengatakan, jika banyak peserta yang akan mengajukan klaim, namun dana yang diinvestasikan itu malah minus, maka yang terjadi adalah kegagalan dalam pembayaran klaim untuk peserta.
"Sekarang iuran kan wajib, saya juga ingin mengkritisi, kok dulu dibolehin, dan sekarang di tutup hanya untuk melindungi orang-orang yang mengelola uang ini, yang salah kelola," kata dia.
Seharusnya, menurut dia, jika hal demikian yang menjadi masalah, yang perlu dibereskan adalah sistem pengelolaannya. Bukan justru menukar hak pekerja mencairkan JHT dengan kewajiban pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Sebab hal tersebut memang sudah diatur dalam konstitusi.
"Saya tidak bisa terima, seharusnya suka tidak suka, ini yang harus diselesaikan, kalau mau menyelesaikan ini pengelolaannya, jangan kemudian dibebani ke buruh atau pekerja," ujarnya.
Dia juga memberikan salah satu contoh hitung-hitungan investasi di BPJS Ketenagakerjaan yang menurutnya salah. Ini berdasarkan dengan hitungan saat dia masih menjadi dewan pengawas di BPJS Ketenagakerjaan.
"Misalnya dalam satu tahun sebelumnya, itu target tidak tercapai, misal target 10 persen, kemudian hanya tercapai 8 persen, berarti kan kurang 2 persen dari target. Nah, tahun berikutnya yang 2 persen ini tidak dihitung lagi, harusnya kan dikejar, tahun selanjutnya ya sudah targetnya 10 persen lagi, harusnya kan ke 12 persen untuk nombokin yang sebelumnya gagal (tidak tercapai)," tuturnya.
"Saya sudah sampaikan ke Bu Menteri Sri Mulyani, bahwa ada risiko gagal bayar, makanya diperkecil jumlah portofolio saham dan reksa dananya," imbuh dia.
Editor : Abriandi
Artikel Terkait