JAYAPURA, iNews.id – Medan juang Komando Pasukan Khusus (Kopassus) tidak hanya di Papua. Wilayah Kalimantan juga menjadi saksi bisu kehebatan korps baret merah saat operasi Ganyang Malaysia dan pembersihan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS)/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku).
Salah satu yang merasakan kerasnya belantara Kalimantan adalah mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal (Purn) AM Hendropriyono. Dirangkum dari buku “Operasi Sandi Yudha” abituren Akademi Militer (Akmil) 1967, dia menceritakan bagaimana dirinya menjalani salah satu misi berbahaya yakni menangkap pimpinan pasukan Barisan Rakyat (Bara) Sukirjan alias Siauw Ah San.
Saat itu, Hendropriyono selaku Komandan Prayudha Halilintar Kopasandha yang kini bernama Kopassus dan masih berpangkat Kapten menetapkan 4 Desember 1973 sebagai hari H dan pukul 04.00 adalah waktu penyergapan terhadap Sukirjan alias Siauw Ah San Cs yang diketahui berada di kampung pinggir hutan Lo Nam Kok daerah Mempawah.
Bersama sejumlah anggotanya, Hendropriyono melakukan infiltrasi pada 3 Desember. Para prajurit pilihan ini menyisir hutan Kalimantan yang sangat lebat. Bahkan sinar matahari pun tak mampu menembus lebatnya pepohonan.
Masing-masing prajurit membawa pisau lempar, radio handy talky (HT), senter batang sebesar pulpen, kompas, peta tembakau, garam, korek api, celdples berisi air dan P3K. Agar musuh tak bisa lolos, jarak antar pasukan pun sekitar 4 meter.
“Jarak ke sasaran sejauh 4,5 kilometer. Kami harus merayap pada pukul 16.00 melewati semak belukar yang lebat di sepanjang perjalanan,” ucapnya.
Setelah susah payah merayap, dia dan timya berhasil menjangkau persembunyian pimpinan pemberontak tersebut. Dia pun harus berduel maut dengan Siauw Ah San yang menolak untuk ditangkap.
Dalam penyerbuan itu, salah satu rekannya yakni Abdullah alias Pelda Ahmad Kongsenlani terkena bayonet Siauw Ah San dan perutnya mengalami robek. Hendropriyono pun sigap melemparkan pisau komando ke tubuh Siauw Ah San.
Sayangnya, pisau komando yang dilempar itu tidak menancap telak dan hanya memberikan luka ringan di dada kanan. Hendropriyono saat itu dalam posisi tanpa senjata di tangan dan harus merebut bayonet dari Siauw Ah San.
“Sedangkan pistol masih terselip di belakang bawah punggung,” kenang Hendropriyono.
Jika meraih pistol, Hendropriyono khawatir keduluan oleh tikaman Siaw Ah San. Dia pun mundur untuk mengambil ancang-ancang, dan menendang dada Siaw Ah San. Siauw Ah San masih sempat membalas menghujamkan bayonet ke paha kirinya. Hendropriyono mengaku dagingnya hingga tersembul keluar dan darah mengalir dari paha kaki kiri.
“Ngilu rasanya baja dingin itu menembus daging dan menusuk tulang paha saya,” ujar lulusan Akademi Militer 1967 ini.
Dalam pergumulan itu, Hendropriyono akhirnya berhasil mencabut pistol. Dia pun menembakannya ke tubuh Siauw Ah San. Dia menembak Siauw Ah San dengan dua kali tarikan picu. Hanya satu peluru yang melesat menembus perut, karena tarikan yang satu lagi macet.
“Siauw Ah San pun terhuyung-huyung,” kata ayahanda Diaz Hendropriyono ini.
Setelah Siauw Ah San berhasil dijatuhkan, rekan-rekan Hendropriyono maju mendekat. Bersama Kongsenlani, Hendropriyono yang terluka parah kemudian digotong oleh yang lain.
Editor : Abriandi