Waspada Diabetes Tipe 5, Ancaman Baru bagi Remaja Kurus di Negara Berkembang

JAKARTA, iNewsKutai.id – Federasi Diabetes Internasional (IDF) secara resmi menetapkan diabetes tipe 5 sebagai jenis baru dari penyakit diabetes yang berbeda dari tipe 1 dan tipe 2.
Pengakuan ini diumumkan dalam Kongres Diabetes Dunia di Bangkok dan menjadi momen penting dalam dunia medis global.
Berbeda dengan diabetes tipe 2 yang berkaitan dengan obesitas dan gaya hidup tidak sehat, diabetes tipe 5 tidak berhubungan dengan kelebihan berat badan.
Sebaliknya, penyakit ini disebabkan kekurangan gizi kronis sejak usia dini, dan umumnya menyerang remaja serta dewasa muda bertubuh kurus di negara-negara berkembang.
Pakar endokrinologi dari Albert Einstein College of Medicine, Prof. Meredith Hawkins, menyebut bahwa diabetes ini sebelumnya sangat kurang dipahami karena tidak termasuk dalam klasifikasi resmi.
"Pengakuan IDF terhadap penyakit ini sebagai diabetes tipe 5 merupakan langkah penting dalam meningkatkan kesadaran terhadap masalah kesehatan yang sangat menghancurkan bagi banyak orang," ujarnya, dikutip dari Diabetes.co.uk, Sabtu (24/5/2025).
Diabetes tipe 5 yang sebelumnya dikenal sebagai Malnutrition-Related Diabetes in the Young (MODY), disebabkan oleh kerusakan fungsi sel beta pankreas, akibat kekurangan gizi jangka panjang.
Sel beta yang rusak membuat tubuh kesulitan memproduksi insulin secara normal. Menurut IDF, kondisi ini diperkirakan memengaruhi lebih dari 25 juta orang di seluruh dunia, terutama di kawasan Asia Selatan, Afrika Sub-Sahara, dan Amerika Latin.
Mayoritas penderitanya adalah pria muda dengan indeks massa tubuh (IMT) di bawah 19 kg/m².
Prof. Nihal Thomas dari Christian Medical College, India, menyebut bahwa selama ini banyak pasien yang salah diagnosis karena diabetes tipe 5 tidak menampilkan gejala khas seperti tipe 1 atau 2.
“Karena kurangnya pengakuan formal, kondisi ini kurang diteliti dan salah didiagnosis,” jelasnya.
Pasien yang salah diagnosis biasanya diberikan terapi insulin berlebihan, yang justru berisiko menyebabkan hipoglikemia parah atau penurunan kadar gula darah secara ekstrem.
Meski kini telah diakui secara global, belum tersedia protokol pengobatan standar untuk diabetes tipe 5. Hal ini menyebabkan banyak pasien tidak bertahan lebih dari satu tahun setelah diagnosis.
Sebagai langkah awal, Prof. Hawkins menyarankan pengelolaan berbasis pola makan tinggi protein, rendah karbohidrat, serta intervensi mikronutrien penting seperti vitamin A, zinc, dan zat besi. Intervensi ini dinilai dapat membantu mengurangi risiko komplikasi serius.
Prof. Hawkins mengatakan dirinya mulai tertarik pada kondisi ini sejak 2005, ketika mendengar laporan dari dokter-dokter di negara berkembang tentang pasien muda yang kurus dan tidak merespons insulin.
“Pasien-pasien ini tidak menunjukkan gejala khas diabetes tipe 1 atau tipe 2, dan kerap mendapatkan penanganan yang tidak tepat,” ungkap Hawkins.
Kasus diabetes tipe 5 ini pertama kali tercatat di Jamaika pada tahun 1955. WHO sempat mengkategorikannya sebagai “diabetes akibat malnutrisi” pada era 1980-an, namun klasifikasi itu dicabut pada tahun 1999 karena minimnya bukti ilmiah.
Editor : Abriandi