JAKARTA, iNewsKutai.id - Menyandang brevet komando bukan perkara mudah. Tidak sedikit anggota TNI yang mengikuti pendidikan untuk masuk satuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) menyerah dan berhenti di tengah jalan.
Hal ini tidak lepas dari latihannya yang disebut diluar nalar manusia biasa. Pendidikan esktra keras ini agar prajurit terlatih baik secara individu dan kelompok melaksanakan operasi komando.
Saat menempuh pendidikan komando, calon prajurit akan digembleng di Pusat Pendidikan (Pusdik) Batujajar dan diakhiri di Nusakambangan, Cilacap. Sebelum upacara pembaretan, selalu diadakan demo penutup dari siswa komando yang disaksikan para undangan dan keluarga siswa.
Kopassus menyebut demo saat matahari terbit ini dengan Seruko (Serangan Regu Komando). Setelah menyelesaikan pendidikan komando dan para dasar serta berhak menyandang brevet komando dan baret merah, mereka disebar di unit-unit operasional Kopassus, yaitu Grup.
Sejumlah perwira tinggi TNI pun pernah merasakan gemblengan menjadi prajurit komando. Salah satunya adalah pentolan Kopassus Letjen (Purn) Soegito. Dia ingin sekali di lengan kanan bajunya ada tulisan Komando sehingga bersikeras mengikuti pelatihan dari awal.
Dikutip dari buku "Letjen (Purn) Soegito, Bakti Seorang Prajurit Stoottroepen", Jumat (29/7/2022), saat itu Soegito kembali bertemu dengan kelompok yuniornya dari AMN (Akademi Militer Nasional) 63 yang baru pulang dari Operasi Tumpas di Sulawesi Selatan.
Sebanyak 15 orang perwira remaja alumni 63 mengikuti pendidikan komando. Letjen (Pur) Sintong Panjaitan dalam bukunya Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009) menyebutkan, bahwa mereka adalah angkatan pertama alumni AMN yang mengikuti pendidikan dasar komando yang sebetulnya adalah kali kedua bagi lulusan AMN.
Tahap demi tahap latihan dilahap Soegito dengan baik, tanpa kesulitan. Memasuki tahap terakhir yaitu longmarch dari Batujajar, Bandung Barat ke Nusakambangan, Cilacap sejauh hampir 500 kilometer selama 10 hari, mendadak Soegito merasakan sakit tak tertahankan di seluruh sendi-sendi kakinya disertai mendadak lemah sehingga tidak kuat dibawa berjalan.
Kali ini Soegito tidak mampu melawan rasa sakitnya, ia menyerah. Pelatihnya Serma Sutari berusaha menguatkan, namun sia sia. Soegito pun akhirnya ditinggal kelompoknya hingga kemudian dievakuasi oleh pelatih.
Singkat cerita, ia dikembalikan ke Cijantung. Soetedjo tahunya saat sudah finish di Nusakambangan. Saat dilakukan penghitungan, jumlahnya sudah tidak lengkap, di antaranya sudah tidak ada Soegito.
"Pak Gito itu kan sprinter, pelari cepat. Biasanya pelari cepat tidak tahan jarak jauh. Tapi apakah itu sebabnya, saya tidak tahu," aku Letjen (Pur) Soetedjo saat di wawancara di kantornya di Sinarmas Tower, Jakarta, awal Maret 2015.
Tidak mau lama-lama meratapi kegagalannya menjalani pendidikan dasar komando, Soegito sudah larut dalam kesibukan barunya sebagai staf dari Mayor Inf Gunawan Wibisono, teman satu lichting Mayor Inf Benny Moerdani.
Di mata Soegito, komandannya yang fasih berbahasa Belanda dan menguasai Inggris ini terlihat begitu pintar dan berwibawa. Ketika itu Mayor Gunawan tengah disibukkan dengan beberapa penelitian terkait peralatan dan prosedur.
Singkat cerita, usai menjadi staf Mayor Gunawan, datang lagi perintah untuk membantu Mayor Inf Heru Sisnodo di Pusdik RPKAD di Batujajar. Di lingkungan RPKAD saat itu, Mayor Heru dikenal sebagai pahlawan Trikora. Saat ditemui Soegito, Mayor Heru sudah menjadi salah satu pimpinan di Batujajar.
"Dek Gito, nanti kalau mau latihan komando lagi, bila perlu apa-apa bilang saja kepada saya," ajak Mayor Heru yang akrab disapa Soegito dengan panggilan Mas Heru.
Di sela-sela tugas sambil menunggu dibukanya pendidikan komando, Soegito memeriksakan ke dokter mencari tahu penyebab sakit di kakinya yang menyebabkannya gagal mengikuti pendidikan komando. Hasil diagnosa dokter menyebutkan ia terkena malaria, yang salah satunya menyebabkan sakit di persendian kaki dan daya tahan tubuhnya menurun.
Flashback kejadian sebelumnya ketika merasakan sakit saat mengikuti program Infanteri Diperberat dan saat Operasi Tumpas, Soegito yakin sepertinya ia tersengat nyamuk yang membawa parasit plasmodium itu saat berdinas di Rindam, Padang. Virusnya mendekam sekian tahun di dalam tubuhnya. Terutama di sendi-sendinya.
Akhirnya kesempatan kedua untuk mengikuti pendidikan komando tiba juga. Karena sudah pernah menjalaninya, Soegito malah menikmati setiap tahap yang dilaluinya.
Bahkan pada tahap long march, petanya disimpan di ransel sewaktu memasuki wilayah Kabupaten Cilacap dan langkahnya diikuti oleh peserta yang lain, yang semuanya adalah yuniornya.
Salah satu kenangannya saat pendidikan komando pada tahap pendaratan di Cilacap adalah disuruh jungkir oleh bintara pelatih dari sebuah ketinggian. Alasan pelatih sederhana sekali, hanya karena Soegito orang Cilacap.
Alasan yang jelas-jelas tidak ada korelasinya. Beberapa tahun kemudian, pelatih asal Aceh yang dikenal galak itu menjadi anggotanya saat diterjunkan di Dili, Desember 1975. Seminggu setelah penutupan latihan, Komandan RPRAD Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo menarik seluruh peserta latihan ke Cijantung untuk mengikuti parade dan defile di Senayan. Soegito lupa, upacara apa yang dihadirinya saat itu.
"Saya salut dengan keuletan Pak Gito. Walaupun gagal latihan awalnya, namun mengulangi lagi sampai selesai. Itu sebuah keuletan yang kami hargai. Beliau tidak pantang menyerah. Mengulangi dari awal itu kan tidak main-main, diperlukan ketabahan yang tinggi," beber Soetedjo soal keteguhan hati rekannya itu.
Usai menjalani pendidikan dasar komando, Soegito ditempatkan sebagai Komandan Kompi di Batalion 2 RPKAD di Magelang. Saat itu RPKAD baru memiliki dua batalion, dengan Batalion 1 di Cijantung. Setelah itu Soegito ditarik ke Cijantung dan diserahi jabatan Danki A Batalion 1 dengan komandan Mayor Soekoso.
Editor : Abriandi